Andikabm.com – Penyebaran Wilayah Islam Pada Masa Daulah Abbasiyah 750-1288 M – Setelah Bani Umayyah Runtuh, maka berdirilah Kekhalifahan yang baru yang membuat Islam semakin menguasai dunia. Dimulai sejak tahun 750 M hingga 1288 M, pemerintahan Dinasty Abbasiyah memiliki banyak kemajuan baik di bidang politik, juga bidang ilmu pengetahuan. Kota-kota besar menjadi pusat-pusat peradaban Islam, seperti Baghdad, Isfahan, Tabaristan, Ghasnah, Halab, Bukhara dan lain sebagainya.
Perkembangan Islam pada masa pemerintah Daulah Abbasiyyah, meliputi sekitar kerajaan-kerajaan Islam yang besar. Pada masa itu berdiri juga Daulah Umayyah di Andalusia yang dipimpin oleh Abdurrahman Ad-Dakhil dan para penguasa keturunan Daulah Umayyah. Dengan adanya kekuasaan Islam selain Daulah Abbasiyah di Andalusia (Eropa) berarti wilayah dakwah Islam semakin luas.
Di bawah kekuasaan Daulah Abbasiyah, daerah-daerah yang ditaklukkan dikembangkan menjadi pusat-pusat peradaban Islam, seperti Baghdad, Isfahan, Tabaristan, Ghasnah, Halab, Bukhara dan lainnya. Pada beberapa kota tersebut juga sering terdapat bangunan Istana para raja atau amir yang menguasai daerah tersebut.
Peradaban Islam pun mengalami kemajuan yang cukup pesat, karena para penguasanya peduli terhadap perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahun. Daulah Abbasiyah tidak hanya menguasai wilayah tertentu, para khalifah menjadikan daerah kekuasaaanya sebagai pilar berkembanganya peradaban dan ilmu pengetahuan,sehingga bisa dirasakan adanya perbedaan dan kemajuan setelah dikuasai Islam dibandingkan pada masa sebelum kedatangan Islam.
Wilayah-wilayah yang telah dikuasai Daulah Abbasiyah mengalami kemajuan yang cukup pesat. Perkembangan wilayah Islam tidak semata-mata karena ambisi memperluas wilayah kekuasaan. Para khalifah lebih peduli terhadap negeri tetangga yang ditindas oleh penguasanya, maka khalifah terpanggil untuk menyelamatkan mereka sekaligus menguasai wilayah tersebut.
Seperti halnya Kerajaan Ghana yang beralih ke pangkuan Daulah Abbasiyah pada tahun 1067 M, sehingga menjadi negeri yang makmur.
Ketika Daulah Abbasiyyah yang berada dipimpin Khalifah Harun Al-Rasyid (170 H/193 H-786 M/809 M), hubungan diplomatik terjalin baik dengan raja Charlemagne (Perancis). Sehingga hubungan kedua kerajaan tersebut harmonis.
Khalifah Harun al-Rasyid memberikan kebebasan dalam bentuk jaminan keamanan bagi orang-orang Nasrani yang ingin berziarah ke Bait al-Maqdis. Hubungan tersebut sangat baik terutama dalam muamalah dan saling menghormati dalam menjalankan ibadahnya masing-masing.
Hubungan tersebut berubah ketika kekuasaan kekhalifahan dipegang oleh orang-orang Turki. Orang-orang Turki yang memegang kekuasaan dan mempunyai pengaruh di Istana, sangat benci terhadap orang-orang Nasrani.
Mereka kurang memberi toleransi terhadap penganut agama lain (Nasrani). Hal tersebut disebabkan sempitnya pemahaman mereka terhadap agama. Mereka mempersempit ijin bagi kaum Nasrani yang akan berziarah ke Bait al-Makdis, dengan cara meminta upeti yang cukup tinggi. Hal inilah yang di kemudian hari memunculkan benih-benih perang Salib.
Perkembangan Peradaban dan Ilmu Pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah
Selama beberapa dekade pasca berdirinya pada tahun 132H/750M, Daulah Abbasiyah berhasil melakukan pengawalan atas wilayah-wilayah yang mereka kuasai. Era kepemimpinan khalifah kedua, Abu Ja`far bin `Abdullah bin Muhamad Al-Mansur (137-158H/754-775M), menjadi titik yang cukup krusial dalam proses stabilisasi kekuasaan ini ketika ia mengambil langkah-langkah besar dalam sejarah kepemimpinannya, termasuk di antaranya adalah memindahkan ibu kota dari Al-Anbar (Al-Hasyimiyah) ke Baghdad sebagai ibu kota baru yang kemudian menjadi pusat kegiatan ekonomi, budaya dan kegiatan keilmuan.
Gerakan penerjemahan kemudian menjadi salah satu icon kemajuan peradaban Daulah Abbasiyah tidak lepas dari peranan Al-Mansur sebagai khalifah pertama yang mempelopori gerakan penerjemahan sejumlah buku-buku kuno warisan peradaban pra Islam.
Khalifah Al-Mansur melakukan penerjemahan secara besar-besar buku-buku kuno dari Romawi, Persia dan India dengan menimbang buku seharga emas, sehingga memunculkan para penggiat ilmu pengetahauan dari berbagai kalangan, termasuk dari berbagai segement Islam seperti tokoh-tokoh Sunni, Syiah, bermunculan.
Dengan demikian gerakan pembukuan (tasnif) dan kodifikasi (tadwin) ilmu tafsir, hadis, fikih, sastra serta sejarah mengalami perkembangan cukup signifikan.
Pada masa sebelumnya, para pelajar dan ulama dalam melakukan aktivitas keilmuan hanya menggunakan lembaran-lembaran yang belum tersusun rapi. Al-Mansur merupakan khalifah pertama yang memberikan perhatian besar terhadap ilmu-ilmu kuno pra-Islam.
1. Faktor Kemajuan Peradaban Daulah Abbasiyah:
a. Faktor Politik
- Pindahnya ibu kota negara dari Al-Anbar (Al-Hasyimiyah) ke Bagdad yang dilakukan oleh Khalifah al-Mansur. Banyaknya cendekiawan yang diangkat menjadi pegawai pemerintah dan istana.
b. Faktor Sosiografi
- Meningkatnya kemakmuran umat Islam
- Luasnya wilayah kekuasaan Islam menyebabkan banyak orang Romawi dan Persia yang masuk Islam dan kemudian menjadi Muslim yang taat.
- Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan.
- Adanya gerakan penerjemahan buku filsafat dan ilmu dari peradaban Yunani dalam Bait al-Hikmah sehingga menjelma sebagai pusat kegiatan intelektual.
2. Indikator Kemajuan Peradaban Daulah Abbasiyah
a. Perkembangan Ilmu Keagamaan
Di bidang ilmu-ilmu agama, era Daulah Abbasiyah mencatat dimulainya sistematisasi beberapa cabang keilmuan seperti Tafsir, Hadis dan Fikih. Khususnya sejak tahun 143 H, para ulama mulai menyusun buku dalam bentuk yang sistematis baik di bidang ilmu tafsir, hadis maupun fiqh.
Di antara ulama yang terkenal adalah adalah Ibnu Juraij (w. 150 H) yang menulis kumpulan hadis di Mekah, Malik bin Anas (w. 171 H) yang menulis Al-Muwatta’ nya di Madinah, Al-Awza`i di wilayah Syam, Ibnu Abi `Urubah dan Hammad bin Salamah di Basrah, Ma`mar di Yaman, Sufyan al-Tsauri di Kufah, Muhamad bin Ishaq (w. 151 H) yang menulis buku sejarah (Al-Maghazi), Al-Layts bin Sa’ad (w. 175 H) serta Abu Hanifah.
Pada masa ini ilmu tafsir menjadi ilmu mandiri yang terpisah dari ilmu Hadis. Buku tafsir lengkap dari al-Fatihah sampai al-Nas juga mulai disusun. Pertama kali yang melakukan penyusunan tafsir lengkap adalah Yahya bin Ziyad al-Dailamy atau yang lebih dikenal dengan sebutan Al-Farra.
Tapi luput dari catatan Ibnu al-Nadim bahwa `Abd al-Razzaq bin Hammam al-San`ani (w.211 H) yang hidup sezaman dengan Al-Farra juga telah menyusun sebuah kitab tafsir lengkap yang serupa.
Ilmu fikih pada zaman ini juga mencatat sejarah penting, dimana para tokoh yang disebut sebagai empat imam mazhab fikih hidup pada era tersebut, yaitu Abu Hanifah (w.150 H), Malik bin Anas (w. 179 H), Imam As-Syafi`i (w.204 H) dan Ahmad bin Hanbal (w. 241 H).
Ilmu Hadis juga mengalami masa penting khususnya terkait dengan sejarah penulisan hadis-hadis Nabi yang memunculkan tokoh-tokoh yang telah disebutkan di atas seperti Ibnu Juraij, Malik bin Anas, juga al-Rabi` bin Sabih (w. 160 H) dan Ibnu Al-Mubarak (w. 181 H).
Selanjutnya pada awal-awal abad ketiga, muncul kecenderungan baru penulisan hadis Nabi dalam bentuk musnad. Di antara tokoh yang menulis musnad antara lain Ahmad bin Hanbal, `Ubaidillah bin Musa al-`Absy al-Kufi, Musaddad bin Musarhad al-Basri, Asad bin Musa al-Amawi dan Nu`aym bin Hammad al-Khuza`i.
Perkembangan penulisan hadis berikutnya, muncul tren baru yang bisa dikatakan sebagai generasi terbaik sejarah penulisan hadis, yaitu munculnya kecenderungan penulisan hadis yang didahului oleh tahapan penelitian dan pemisahan hadis-hadis sahih dari yang dha`if sebagaimana dilakukan oleh Al-Bukhari (w. 256 H), Muslim (w. 261 H), Ibnu Majah (w. 273 H), Abu Dawud (w. 275 H), At-Tirmizi (w. 279 H), serta An-Nasa’i (w. 303 H).
Disiplin keilmuan lain yang juga mengalami perkembangan cukup signifikan pada era Abbasiyah adalah ilmu sejarah yang dipelopori oleh Ibnu Ishaq (w. 152 H) dan kemudian dilanjutkan oleh Ibnu Hisyam (w. 218 H).
Selanjutnya muncul pula Muhamad bin `Umar al-Waqidi (w. 207 H) yang menulis buku berjudul At-Tarikh al-Kabir dan Al-Maghazi. Buku yang pertama dinyatakan hilang, meski isinya masih direkam oleh sejarawan Ath-Thabari (838-923 M). Sejarawan lain yang datang berikutnya adalah seperti Muhamad bin Sa’ad (w. 230 H) dengan At-Tabaqat al-Kubra-nya serta Ahmad bin Yahya al-Baladzuri (w. 279 H) yang menulis Futuh al-Buldan.
b. Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Melalui proses penerjemahan filsafat Aristoteles dan Plato. Muncullah para filosuf muslim yang di kemudian hari menghiasi khazanah ilmu pengetahuan Islam.
Di antara filosof yang terkenal pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah adalah:
- Abu Yusuf Ya’qub Ibnu Ishaq Al-Sabah Al-Kindi (811-874 M),
- Abu Nasir al-Farabi (870-950 M),
- Abu Ali Al-Husayn bin Abdullah bin Sina/Ibnu Sina (980-1037 M),
- Abu Bakar Muhammad bin Yahya bin ash-Shayigh at-Tujibi bin Bajjah (1085-1138 M),
- Abu Bakr Muhammad bin ‘Abdul Malik bin Muhammad bin Thufail al-Qaisi (1105–1185 M), dan
- Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali (1058-1111 M).
Ilmuwan-ilmuwan Muslim yang ahli dalam bidang ilmu kedokteran antara lain
- ‘Abu Ali Muhammad al-Hasan bin al-Haitham atau Ibnu Hazen (965-1039 M), ahli mata dengan karya optics dan
- Ibnu Sina (Abu Ali Al-Husayn bin Abdullah bin Sina/Ibnu Sina, 980-1037 M) dengan bukunya Qanun fi Tibb.
Ilmu kimia juga termasuk salah satu ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh kaum Muslimin di antara tokoh kimia yaitu Abu Musa Jabir bin Hayyan Al-Kuffi As-Sufi (721-815 M).
Dalam bidang Matematika dan Sains ilmuwan yang terkenal sampai sekarang adalah :
- Abu Ja’far Muhammad bin Musa al-Khawarizmi (780-850 M), Al-Khawarizmi dengan bukunya al-Jabr wa al-Mukabala yang merupakan buku pertama sesungguhnya ilmu pasti yang sistematis. Dari bukunya inilah berasal istilah aljabar dan logaritma dalam matematika. Bahkan kemajuan ilmu matematika yang dicapai pada masa ini telah menyumbangkan pemakaian angka-angka Arab dalam matematika.
- Abu al-Abbas Ahmad bin Muhammad bin Kathir al-Farghani (833-870 M) dan
- Abu Raihan Al-Biruni (973- 1048 M).
Dalam bidang sejarah, ulama yang terkenal antara lain:
- Muhammad bin Ishaq bin Yasar (704-768 M),
- Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam bin Ayyub Al-Himyari Al-Muafiri Al-Basri (Ibnu Hisyam w. 834 M),
- Abu Abdullah Muhammad bin Umar Al-Waqidi (747-823 M),
- Abdullah bin Muslim bin Qutaibah al-Dainuri al-Marwazi (Ibnu Quthaibah, 828-889 M),
- Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib al-Amali ath-Thabari (At-Thabari, 838-923 M).
Dalam bidang ilmu bumi atau geografi ulama yang terkenal :
- Ahmad bin Abi Ya’qub Ishaq bin Ja’far bin Wahab bin Waddih (al-Yakubi, w. 897 M) terkenal dengan karyanya al-Buldan,
- Abul Qasim Ubaidullah bin Abdullah bin Khurdadzbih (Ibnu Kharzabah, k.820–912 M) bukunya berjudul al-Mawalik wa al-Mawalik,
- Abu al-Mundhir Hisham bin Muhammed bin al-Sa’ib bin Bishr al-Kalbi (Hisham al-Kalbi, 737-819 M) terkenal pada abad ke-9 M, khususnya dalam studinya mengenai bidang kawasan Arab.
Dalam bidang Astronomi, tokoh astronomi Islam pertama adalah Muhammad bin Ibrahim bin Habib bin Samra bin Jundab al-Fazari (Al Fazari, w. 796 M) dikenal sebagai pembuat astrolob atau alat yang pergunakan untuk mempelajari ilmu perbintangan pertama di kalangan muslim. Selain al-Fazani, ahli astronomi yang bermunculan di antaranya adalah Muhammad bin Musa al-Khawarizmi, al-Farghani, al-Bathiani, al-Biruni, dan Abdurrahman as-Sufi.
Para ilmuwan muslim telah banyak meninggalkan warisan ilmu pengetahuan dan peradaban terhadap dunia.Hal tersebut tidak hanya dinikmati umat Islam, namun juga seluruh umat manusia di seluruh dunia. Karya-karya ilmuwan muslim banyak yang diadopsi, diterjemahkan dan diambil manfaatnya
untuk kemaslahatan umat manusia.
c. Perkembangan Peradaban Di Berbagai Bidang
1) Bidang Sosial Budaya
Di antara kemajuan dalam bidang sosial budaya adalah terjadinya proses akulturasi dan asimilasi masyarakat. Seni arsitektur yang dipakai dalam pembangunan istana dan kota-kota, seperti pada istana Al-Qasrul Zahabi, dan Qasrul Khuldi, sementara bangunan kota seperti pembangunan kota Baghdad.
Samarra dan lain-lainnya. Al-Qasr Az-Zahabi (Istana Emas) nama ini melambangkan keagungan dan kemegahan istana yang dibangun oleh Daulah Abbasiyah karena sebagian besar sisi istananya dihias dan dilapisi emas. Masyarakat merasakan keamanan dan ketertiban yang terjaga dengan baik. Kehidupan sosial dan masyarakat pada masa itu juga tertata dengan baik.
Kemajuan juga terjadi pada bidang sastra, bahasa dan seni musik. Pada masa ini lahir seorang sastrawan dan budayawan terkenal, seperti:
- Abu Ali Al-Hasan bin Hani Al-Hakami atau yang dikenal dengan panggilan Abu Nawas (756-814 M),
- Abu Athahiyah (748-826 M),
- Al-Mutanabbi (915-965 M),
- Ibnu Muqaffa (720-756 M) dan lain-lainnya. Karya buah pikiran mereka masih dapat dibaca hingga sekarang, seperti kitab Kalilah wa Dimmah.
Tokoh terkenal dalam bidang musik yang kini karyanya juga masih dipakai adalah
- Yunus bin Sulaiman (713-785 M);
- Khalil bin Ahmad (w. 791 M);
- Abu Nasir Muhammad bin al-Farakh bin Uzlagh al-Farabi (870-950 M) pencipta teori musik Islam;
- Ishak bin Ibrahim Al Mausully (w. 850 M) yang telah berhasil memperbaiki musik Arab jahiliyah dengan sistem baru. Buku musiknya yang terkenal adalah kitab Alhan wa al-Angham (buku not dan irama).
Beliau sangat terkenal dalam musik sehingga mendapat julukan Imam al-Mughanniyin (Raja Penyanyi).
2) Bidang Politik dan Militer
Pemerintah Daulah Abbasiyah membentuk departemen pertahanan dan keamanan, yang disebut Diwanul Jundi. Departemen ini yang mengatur semua yang berkaiatan dengan kemiliteran dan pertahanan keamanan.
Pembentukan lembaga ini didasari atas kenyataan politik militer bahwa pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah, banyak terjadi pemberontakan dan bahkan beberapa wilayah berusaha memisahkan diri dari pemerintahan Daulah Abbasiyah.
Sistem politik Daulah Abbasiyah terbiang unik, karena daulah ini melibatkan beberapa bangsa dalam pemerintahannya bahkan dalam periode tertentu jabatan Perdana Menteri dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan yang dikenal wazir dari Barmak, sementara militer lebih banyak melibatkan orang-orang dari Turki. Masing-masing bangsa berusaha untuk bersaing dan berkuasa sehingga memunculkan beberapa periodesasi bangsa yang berbeda dalam pemerintahan Daulah Abbasiyah.
3) Bidang Pembangunan dan Tempat Peribadatan
Di antara kota pusat peradaban Islam pada masa Daulah Abbasiyyah yang cukup terkenal adalah Bagdad dan Samarra. Baghdad dirikan oleh Khalifah Abu Ja’far al-Mansur (754-775 M) terletak di tepi sungai Tigris. Samarra terletak di sebelah timur kota Tigris kurang lebih 60 km dari Bagdad.
Suasana kota sangat nyaman, indah dan teratur. Nama Samarra diberikan oleh Khalifah al-Mansur. Di antara bentuk bangunan yang dijadikan sebagai pusat-pusat pendidikan adalah:
- Madrasah (An-Nizamiyah); didirikan oleh Nizam al-Mulk beliau seorang perdana menteri pada tahun 456-486 H. Madrasah banyak terdapat dikota-kota antara lain di Bagdad, Isfahan, Nisabur, Basra, Tabristan, Hara dan Mosul,
- Kuttab; merupakan lembaga pendidikan tingkat dasar sampai menenah,
- Masjid; Masjid pada umumnya dijadikan sebagai tempat belajar tingkat tinggi dan takhasus,
- Majelis Munazarah; Merupakan tempat pertemuan para pujangga, ahli fikir dan pada sarjana untuk membahas masalah-masalah ilmiah, majelis ini dapat dijumpai di kota-kota besar lainya,
- Baitul Hikmah; Tempat ini merupakan perpustakan pusat, yang di bangun oleh khalifah Harun al-Rasyid dan di lanjutkan oleh khalifah Al-Makmun.
Demikian Penyebaran Wilayah Islam Pada Masa Daulah Abbasiyah 750-1288 M Baghdad, Semoga kita akan lebih memahami setelah kita ,membaca sejarah Pengebaran Islam pada masa Daulah Abbasiyah yang pernah berjaya pada abad-abad yang silam.
Dapatkan media pembelajaran powerpoint dengan judul PPT Perkembangan & Peradaban Ilmu Pengetahuan Pada Masa Daulah Abbasiyah.
Terimakasih, Wassalam ….Andikabm