Pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib 656-661 M / 35-40 H

 Andikabm.com – Pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib 656-661 M / 35-40 H – Khalifah Ali bin Abi Thalib adalah khufaurrasyidin yang terakhir dalam sejarah Islam.
Kepemimpinannya  berjalan hanya 4 tahun 9 bulan, setelah Khalifah Utsman bin Affan wafat. Ali bin Abi Thalib termasuk sahabat yang istimewa karena beliau
masuk pada golongan Ashobiqunal Awalun di saat masih usia 10 tahun. Tergolong anak-anak yang pertama masuk Islam.
Khalifah Ali bin Abi Thalib

Mengenal Ali bin Abi Thalib 

Ali bin Abi Thalib lahir pada hari Jumat 13 Rajab tahun 600 M di kota
Makkah. Nama lengkapnya adalah Ali bin Abi Thalib ibn Abdil Muthalib ibnu Hasyim ibn Abdi Manaf ibn Qushay ibn Kilab ibn Murrahi bin Ka‟ab ibn
Lu‟ay. 
Ali bin Abi Thalib termasuk dalam golongan Assabiqunal Awwaluun dari
kalangan anak-anak, pada usia 10 tahun Ali sudah memeluk agama Islam.
Sejak kecil beliau diasuh oleh Rasulullah Saw, oleh sebab itu beliau
terdidik dalam kesempurnaan akhlaq dan sifat-sifat yang terpuji. 
Secara silsilah, ‘Ali adalah sepupu dari Nabi Muhammad. Pernikahan ‘Ali
dengan Fatimah az-Zahra juga menjadikannya sebagai menantu Nabi Muhammad.
Sebagai salah satu pemeluk Islam awal, Ali telah terlibat dalam berbagai
peran besar sejak masa  kenabian, meski usianya terbilang muda bila
dibandingkan sahabat utama Nabi yang lain. Ali mengikuti semua perang,
kecuali Perang Tabuk, pengusung panji, juga berperan sebagai sekretaris
dan pembawa pesan Nabi. Ali juga ditunjuk sebagai pemimpin pasukan pada
Perang Khaibar.
Pada awal dakwah Rasulullah Saw, Ali selalu mengikuti kemanapun Rasulullah
Saw pergi termasuk ketika harus sembunyi-sembunyi melakukan sholat di
lembah-lembah Makkah. Ali juga rela mempertaruhkan jiwanya untuk
Rasulullah Saw ketika pada malam hijrah ke Yasrib beliau menggantikan
tidur di pembaringan Rasulullah Saw. 
Dari segi keilmuan, Ali bin Abi Thalib termasuk ulama dan hakim terkemuka
dikalangan sahabat, hingga salah satu gelar yang disematkan kepadanya
adalah babul „ilmi (pintunya ilmu). Para sahabat senior banyak yang
berkonsultasi kepada Ali mengenai masalah-masalah keilmuan yang mereka
hadapi, keluasan dan kedalaman ilmu yang dimiliki oleh Ali tidak diragukan
lagi. 
Dalam sebagian besar perang Rasulullah Saw, ia selalu bertugas membawa
panji-panji perang. Keberanian, kepahlawanannya, dan kepiawaiannya tak ada
tandingannya sehingga diberi julukan asadullah (singa Allah). Ali ikut
serta dalam perang Badar maupun perang-perang lainnya, hanya saja pada
peristiwa perang Tabuk, Ali tidak ikut serta karena mendapat tugas dari
Rasulullah Saw untuk menjaga keluarga beliau dan menggantikannya memimpin
kota Madinah. 

Peperangan yang diikuti Ali bin Abi Thalib

Perang Badar

Beberapa saat setelah menikah, pecahlah perang Badar, perang pertama dalam
sejarah Islam. Di sini Ali betul-betul menjadi pahlawan disamping Hamzah,
paman Nabi. Banyaknya Quraisy Mekkah yang tewas di tangan Ali masih dalam
perselisihan, tetapi semua sepaat dia menjadi bintang lapangan dalam usia
yang masih sangat muda sekitar 25 tahun.

Perang Khandaq

Perang Khandaq juga menjadi saksi nyata keberanian Ali bin Abi Thalib
ketika memerangi Amar bin Abdi Wud. Dengan satu tebasan pedangnya yang
bernama dzulfikar, Amar bin Abdi Wud terbelah menjadi dua bagian.

Perang Khaibar

Setelah Perjanjian Hudaibiyah yang memuat perjanjian perdamaian antara
kaum Muslimin dengan Yahudi, dikemudian hari Yahudi mengkhianati
perjanjian tersebut sehingga pecah perang melawan Yahudi yang bertahan di
Benteng Khaibar yang sangat kukuh, biasa disebut dengan perang Khaibar. Di
saat para sahabat tidak mampu membuka benteng Khaibar, Nabi bersabda:
“Besok, akan aku serahkan bendera kepada seseorang yang tidak akan
melarikan diri, dia akan menyerang berulang-ulang dan Allah akan
mengaruniakan kemenangan baginya. Allah dan Rasul-Nya mencintainya dan
dia mencintai Allah dan Rasul-Nya”.
Maka, seluruh sahabat pun berangan-angan untuk mendapatkan kemuliaan
tersebut. Namun, tenyata Ali bin Abi Thalib yang mendapat kehormatan itu
serta mampu menghancurkan benteng Khaibar dan berhasil membunuh seorang
prajurit musuh yang berani bernama Marhab lalu menebasnya dengan sekali
pukul hingga terbelah menjadi dua bagian.
Sepeninggal Rasulullah Saw, Ali menjadi tempat para sahabat meminta
pendapat. Meskipun tegas dan keras dalam setiap pertempuran, tetapi beliau
memiliki sifat penyayang yang luar biasa. Beliau tak segan-segan
menyedekahkan makanan yang seharusnya diperuntukkan bagi
keluarganya. 
Ketika Abu Bakar, Umar bin Khathab dan Usman bin Affan menjadi khalifah,
mereka tak segan untuk meminta pendapat dari Ali tentang suatu persoalan
dan sebelum mengambil suatu tindakan. 

Pengangkatan Ali bin Abi Thalib 

Ketika terjadi pengepungan atas khalifah Usman bin Affan oleh para
pemberontak, Ali bin Abi Thalib meminta dua orang putranya Hasan dan
Husain untuk menjaga khalifah Usman, namun akhir dari pengepungan itu
adalah meninggalnya Usman bin Affan. 
Pasca peristiwa itu, para sahabat berkumpul dan mengutarakan pendapat
mereka kepada Ali bin Abi Thalib,“Usman telah tiada dan umat membutuhkan
pemimpin, sampai saat ini tidak ada seorangpun yang pantas menjadi
pemimpin umat Islam selain engkau, dan tak ada juga seorangpun yang lebih
senior dalam Islam dan lebih dekat dengan Rasulullah Saw selain
engkau”. 
Ali menolak penunjukan itu, dan beliau belum mengambil tindakan apapun.
Sementara keadaan semakin kacau dan menghawatirkan sehingga Ali ragu-ragu
untuk mengambil keputusan dan tindakan. Mereka terus mendesak Ali untuk
bersedia menjadi khalifah dan mengingatkan keadaan yang lebih buruk akan
terjadi jika Ali tidak bersedia menjadi khalifah. 
Akhirnya Ali bin Abi Thalib bersedia dan dibai‟at menjadi khalifah pada
tanggal 24 Juni tahun 656 M di Masjid Nabawi. Setelah bai‟at terlaksana,
Ali pun berpidato dan berpesan kepada kaum muslimin “Allah telah
menurunkan al-Qur‟an sebagai petunjuk untuk membedakan yang baik dari yang
buruk. Karena itu, lakukanlah kebaikan dan tinggalkan keburukan”. 
Masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib penuh dengan gejolak, hal ini dipicu
oleh konflik internal yang muncul silih berganti, sehingga menghambat
pemerintahannya. Gejolak ini juga yang mengakibatkan pada subuh tanggal 17
bulan Ramadhan 40 H Ali bin Abi Thalib ditikam oleh Ibnu Muljam, pada 20
Ramadhan beliau meninggal dan dimakamkan di Kufah. Beliau meninggal dalam
usia 63 tahun dan menjadi khalifah selama 4 tahun 9 bulan. 

Substansi dan Strategi Dakwah Ali bin Abi Thalib 

Masa pemerintahan Ali bin Abi thalib yang singkat dihabiskan untuk meredam
beberapa pemberontakan yang terjadi. Ada dua pemberontakan yang terjadi
pada masa Ali bin Abi Thalib yang dikenal dengan perang Jamal (antara Ali
dan Aisyah) dan perang Siffin (antara Ali dan Muawiyah). Beberapa strategi
dan ketetapan Ali bin Abi Thalib : 
  1. Mengganti seluruh pejabat dan para gubernur yang telah diangkat oleh
    Khalifah Utsman. Menurutnya, munculnya berbagai pemberontakan dalam
    masyarakat akibat dari kesalahan sikap dan kebijaksanaan gubernur
    tersebut karena dipandang kurang cakap dan amanah kepada rakyat.
    Adapun para pengganti gubernur yang ditunjuk oleh Ali bin Abi Thalib
    adalah :
    • Sahl bin Hunaif ke daerah Syam
    • Utsman bin Hunaif ke daerah Basrah
    • Qais bin Sa’ad ke Mesir
    • Umarah bin Syihab ke Kufah
    • Ubaidah bin Abbas ke Yaman
  2. Mengambil kembali tanah-tanah yang dibagikan Usman kepada kerabatnya tanpa jalan yang sah. Demikian juga hibah atau pemberian Utsman kepada siapapun yang tidak beralasan diambil kembali untuk dikuasai Negara.
  3. Memadamkan gerakan pemberontakan yang dilakukan oleh golongan Aisyah, Thalhah, Zubair dan golongan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.

Perang Saudara Ali bin Abi Thalib Saat Menjadi Khalifah

1. Perang Jamal 36H/357M

Pada awalnya, Ali bin Abi Thalib memilih jalur diplomasi dan bertemu dengan para pihak yang berselisih di Basra, Irak. Akan tetapi, karena kesepakatan gagal dicapai, peperangan pun tidak dapat dielakkan. 
Pertempuran berlangsung pada 8 Desember 656 M dari siang hingga malam hari. Peperangan yang dimenangkan oleh Ali bin Abi Thalib ini kemudian dikenal sebagai Perang Jamal atau Perang Unta. Pasalnya, ketika perang berkecamuk, Aisyah menunggangi seekor unta. Aisyah kemudian dikirim ke Madinah tanpa dilukai sedikitpun. 
Setelah Perang Jamal berakhir, Ali bin Abi Thalib memindahkan ibu kotanya ke Kufah di Irak. 
Walaupun dalam peperangan ini, pasukan Ali bisa dikatakan telah memperoleh kemenangan, namun Ali tidak mau menganggapnya, bahkan ia menyesal karena sesama muslim saling membunuh. Inilah perang saudara pertama di dalam tubuh Umat Islam yang memakan korban dari kedua belah pihak sebanyak 10.000 orang. 
Beberapa faktor yang mendorong Perang Jamal (Unta) ini terjadi, yaitu :
  1. Tidak setujunya Aisyah, Thalhah dan Zubair terhadap pengangkatan Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah walaupun Thalhah dan Zubair sendiri ikut membaiatnya (karena mendapat tekanan para pendukung garis keras Ali bin Abi Thalib).
  2. Tidak setuju terhadap pergantian beberapa gubernur oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib.
  3. Ali bin Abi Thalib dianggap terlalu lamban dalam menangani kasus pembunuhan Utsman bin Affan dan menuntut pelaku pembunuhan agar dijatuhi hukuman sesuai syari’at Islam.

2. Perang Shiffin 

Faktor yang menjadi penyebab timbulnya perang Siffin, di antara lain ialah :
  1. Muawiyah menuduh Ali bin Abi Thalib ikut berperan dalam pembunuhan Utsman bin Affan.
  2. Tidak terima terhadap pemecatannya sebagai Gubernur di Syam.
  3. Muawiyah tidak mau mengakui pengangkatan Ali sebagai khalifah.
Dalam perang tersebut, pimpinan pasukan Ali bin Abi Thalib dipercayakan kepada Asy’ats bin Qais dan Asytar. Pada hari pertama, pasukan Ali berhasil menceraiberaikan pasukan Muawiyah. Pada hari berikutnya, sebenarnya Khalifah Ali bisa saja menyerang Muawiyah yang sudah dalam kondisi lemah. 
Namun, beliau bukanlah orang yang curang, ia segera mengutus Martsad bin Harits untuk memberitahukan kepada Gubernur Muawiyah untuk berdamai atau melanjutkan berperang.
Setelah kalah dalam Perang Jamal, koalisi di pihak oposisi terpecah. Akan tetapi, Muawiyah I belum mau menyerah dan menggunakan insiden kematian Utsman untuk mendapatkan banyak pengikut. Pada 657 M, Ali bin Abi Thalib menuju Suriah untuk menghadapi Muawiyah I, di mana kedua pihak kemudian beradu senjata di Shiffin. 
Setelah terlibat perang selama berhari-hari, pihak Muawiyah menyarankan untuk melakukan arbitrasi. Pihak Khulafaur Rasyidin mengirim Abu Musa al-Asy’ari sebagai perwakilan, sementara Amr mewakili pihak Muawiyah I. Hasilnya, pembunuhan Utsman dinyatakan tidak adil dan Amr menipu Musa untuk mendepak Ali bin Abi Thalib dari kekhalifahan. 
Banyak dari pihak Ali bin Abi Thalib yang kecewa dan berselisih karena merasa upaya mereka selama ini sia-sia. Akhirnya, muncul kelompok baru yang radikal dan dikenal sebagai Khawarij. Kelompok ini memusuhi Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah I.

Perjanjian Perdamaian (Tahkim)

Setelah perang saudara usai, kedua belah pihak sepakat mengadakan perjanjian damai di Daumatul-Jandal, sebuah kota terpencil di Jazirah Arab. Perjanjian tersebut dihadiri masing-masing 100 orang dari kedua belah pihak, pihak Mu’awiyah menunjuk Amru bin Ash sebagai perwakilan mereka. 
Sedangkan pada pihak Ali awalnya menunjuk Abdullah bin Abbas yang dianggap mampu menandingi kelicikan Amru bin Ash, tetapi Panglima Asy’ats dan beberapa orang yang lainnya menghendaki Abu Musa al-Asy’ari. 
Guna menghindari terjadinya perpecahan di tubuh pasukannya, Ali pun menyetujui Abu Musa Al-Asy’ari ditunjuk sebagai wakilnya dalam perundingan tersebut. Pada awalnya diputuskan, bahwa dalam perundingan tersebut masing-masing pihak, Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan, agar supaya meletakkan jabatannya dan akan dipilih melalui musyawarah kaum muslimin. 
Setelah dicapainya kesepakatan antara keduanya, Amru bin Ash mempersilahkan kepada Abu Musa al-Asy’ari untuk mengumumkan terlebih dahulu sebagai bentuk hormat kepada orang yang lebih tua. 
Setelah pihak Ali mengumumkan yang diwakili oleh Abu Musa Al-Asy’ari, bahwa Ali bin Abi Thalib bersedia turun dari jabatannya sebagai khalifah, pada awalnya dia mengira Amru bin Ash akan mengumumkan bahwa Mu’awiyah bin Abi Sufyan turun dari gubernur di Syam.
Kenyataan yang terjadi berbeda, begitu Abu Musa al Asy’ari mengumumkan bahwa Ali turun dari jabatannya, kemudian Amru bin Ash mengatakan bahwa Muawiyah akan menggantikan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Tentu saja, Abu Musa al Asy’ari sangat marah karena secara terang-terangan merasa ditipu oleh akal licik Amru bin Ash. 
Akhirnya, hasil perundingan tersebut mengalami kegagalan. Namun, Ali bin Abi Thalib sudah terlambat tidak bisa lagi melanjutkan perangnya kembali, karena banyak pasukannya yang telah keluar karena tidak setuju dengan adanya tahkim tersebut dan mereka ini dinamakan sebagai Golongan Khawarij (orang-orang yang keluar dari barisan Ali).

Terbunuhnya Sang Khalifah Ali bin Abi Thalib

Setelah perjanjian tersebut gagal, Mu’awiyah bin Abi Sufyan merasa dirinya sudah di atas angin dan berhasil berkuasa untuk merebut wilayah kekuasaan Ali bin Abi Thalib. 
Sebenarnya, Khalifah Ali berencana akan menyerang kembali ke Syam, namun hal itu diurungkan karena Kaum Khawarij (pasukan Ali yang keluar karena tidak setuju adanya tahkim) sudah terlanjur membuat berbagai macam kerusuhan dan membunuh siapa saja yang setuju dengan adanya tahkim tersebut, begitu juga penduduk Irak yang sudah tidak percaya dan tidak menghiraukan lagi dengan apa yang dikatakan Khalifah Ali tersebut. 
Di sisi lain, Kaum Khawarij bersepakat melakukan pembunuhan kepada 3 orang ini, karena dianggap sebagai penyebab dan orang paling bertanggung jawab atas perpecahan Umat Islam kala itu. 
Sehingga, Khalifah Ali bin Abi Thalib telah wafat terbunuh karena ditikam pisau belati beracun oleh Abdurrahman bin Muljam tepat pada tanggal 17 Ramadlan 40 H atau bertepatan pada Tahun 661 M menjelang waktu Shalat Shubuh setelah memerintah selama 4 tahun 9 bulan lamanya.
Dalam rencana pembunuhan tersebut, mereka mengirim 3 orang yaitu :
  1. Abdur-Rahman bin Muljam untuk membunuh Ali bin Abi Thalib.
  2. Barak bin Abdullah untuk membunuh Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
  3. Amir bin Bakri Al-Tamimi untuk membunuh Amru bin Ash.
Dalam peristiwa tersebut, hanya Abdur-Rahman bin Muljam atau Ibnu Muljam yang berhasil membunuh Khalifah Ali di Masjid Kufah, sedangkan Barak bin Abdullah menikamnya hanya mengenai bagian pinggul Mu’awiyah, namun tidak sampai mati. Sementara, Amir bin Bakri tidak bisa membunuh ‘Amr bin Ash, karena perutnya sakit sehingga dia tidak shalat subuh di masjid.

‘Amul-Jama’ah atau Kesepakatan Damai (41 H/662 M)

Setelah wafatnya Khalifah Ali bin Abi Thalib, jabatan khalifah diserahkan
alternatif kepada puteranya, Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Namun, dia
sebenarnya tidak menghendaki jabatan tersebut begitu pula di sisi lain,
banyak pihak yang mendesak agar jabatan itu segera diserahkan Mu’awiyah.
Setelah 3 bulan memegang jabatan menjadi khalifah, akhirnya ia mau melepaskan jabatannya
tersebut dan rela menyerahkannya kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan asalkan
memenuhi persyaratan, di antara lain : 
  • Muawiyah harus menjamin keselamatan Hasan dan keluarganya (Ahlul Bait). 
  • Muawiyah harus menghentikan cacian kepada Ali bin Abi Thalib beserta keluarganya, terutama dalam setiap khutbah di atas mimbar.
  • Sepeninggal Muawiyah, jabatan khalifah harus diserahkan kepada Umat
    Islam untuk memilihnya. 
  • Penduduk Iraq yang merupakan pendukung Ali bin Abi Thalib juga harus
    dijamin keamanannya. 
Setelah Muawiyah mau menerima syarat tersebut, sejak saat itulah
khalifah sepakat dipegang oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Akhirnya,
peristiwa ini dinamakan ‘Aamul Jama’ah yang artinya Tahun Persatuan Umat
Islam karena sudah berada di bawah naungan satu khalifah saja.

Demikian Pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib 656-661 M / 35-40 H. Semoga dengan adanya artikel ini dapat menambah wawasan tentang sejarah Islam yang terjadi pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib.
Dapat mengambil ibrah dari pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang berjalan selama 4 tahun 9 bulan lamanya. Berbagai macam kebijakan-kebijakan yang diambil oleh seorang pemimpin yang patut dijadikan teladan bagi generasi muslim.
Mengetahui akar masalah yang menyebabkan perang saudara, juga memahami perilaku yang benar dan salah diantara para kaum muslimin saat itu.
Tetap kunjungi blog Andikabm.com yang selalu memberikan informasi terupdate seputar pendidikan dan informasi-informasi penting lainnya.
Terimakasih, Wassalam ….Andikabm.

Leave a Comment